[Seputar Kehidupan Rumah Tangga]
✿ 3 Hal Yang Wajib Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga.
Pertengkaran
dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak
terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu
‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Dari
Sahl bin Sa’d radhiyallahu
‘anhu, beliau menceritakan :
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu
‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau
bertanya : “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia
marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di
masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur,
sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap debu itu, sambil mengatakan :
“Bangun,
wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Tentu
tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan
Fatimah radhiyallahu ‘anhuma.
Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana
semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang
terjadi di keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi
di keluarga yang tidak baik.
Apa Bedanya?
Keluarga
yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi
dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang
penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran
semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.
Berbeda
dengan keluarga yang baik, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka
dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka
tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk
menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini ada pada
keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan
sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Semua Jadi Pahala.
Apapun
kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita pahami bahwa itu sejatinya bagian
dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang
pahala.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung,
sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di
badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan
dosa-dosanya.”
(HR. Bukhari 5641).
Pahami
bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan.
Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat
itu, hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan
kesedian yang anda alami… lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun
kepada-Nya. Umar bin Abdul Aziz mengatakan :
“Musibah turun
disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’
Fatawa, 8/163)
3 Hal Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran
Rumah Tangga.
Selanjutnya,
ada 3 hal yang wajib dihindari ketika terjadi pertengakaran. Semoga dengan
menghindari hal ini, pertengkaran dalam keluarga muslim tidak berujung pada
masalah yang lebih parah. Secara umum, aturan ini telah disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dalam
hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya
kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Kamu
harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi
pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah,
jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad
20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis
ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para suami. Meskipun demikian, beberapa
larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis
mulia ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal :
Pertama, hindari KDRT.
Dalam
Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang
istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa :
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...” (QS. An-Nisa:
34)
Namun
ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan
kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,
1.
Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala.
Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital
yang menjadi pusat indera manusia.
2.
Tidak boleh menyakitkan.
Batasan
ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.
“Jika
istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang
tidak menyakitkan.”
(HR. Muslim 1218)
Keterangan
ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan
firman Allah di surat An-Nisa : 34 di atas.
Atha’
bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
Saya
pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak
menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan
dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam
tafsirnya, 8/314).
Termasuk
makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan
bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah.
Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu
dalam rangka mendidik istri.
Namun,
meskipun ada
izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita
yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda bisa
bayangkan, ketika ada orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah.
Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia untuk meladeninya. Karena itu, lawan
bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi,
sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Orang
yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang
hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari
6114 dan Muslim 2609).
Seperti
itulah yang dicontohkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. A’isyah menceritakan : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah memukul
wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di
jalan Allah.” (HR. Muslim 2328).
Maksud
pernyataan A’isyah, “Padahal
beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani
di hadapan orang lemah. Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di
sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua,
Hindari Caci-maki.
Siapapun
kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya
membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi.
Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam
bentuk cacian atau makian. Allah berfirman :
“Allah
tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. An-Nisa : Ayat 148).
Setidaknya,
ketika dia tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan
melukai hati orang yang mendzaliminya.
Dalam
ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana
harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki
harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati,
dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa
mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang
sakinah.
Karena
itulah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci
pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang tua, yang umumnya
bukan bagian dari masalah.
Beliau
bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam
Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan :
“Jangan
kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan
keburukan untuknya..” (Aunul
Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Perlu
kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa
sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam
Al-Qur’an. Allah berfirman :
“Orang-orang
yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab
: Ayat 58)
Marah
kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang
tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan
semacam ini sebagai dosa yang nyata.
Ketiga,
Jaga Rahasia Keluarga.
Bagian
ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang
sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena
ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk
diselesaikan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehatkan,
“jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”
Ketika
suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan
sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun
suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan
seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang
berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.
Siapakah
pihak yang berwenang?
Pihak
yang posisinya bisa mengendalikan dan memberi solusi atas masalah keluarga.
Dalam hal ini bisa KUA, hakim, ustadz yang amanah, atau mertua. Kami sebut
mertua, karena dia berwenang untuk mengendalikan putra-putrinya. Dan ini tidak
berlaku sebaliknya.
Agar
tidak salah paham, berikut keterangan lebih rinci :
Ketika
suami melakukan kesalahan, tidak selayaknya sang istri melaporkan kesalahan
suami ini kepada orang tua istri. Tapi hendaknya dilaporkan kepada orang yang
mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang
tua suami. Demikian pula ketika sumber masalah adalah istri. Hendaknya
suami tidak melaporkannya kepada orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya
(ortu istri).
Solusi
ini baru diambil ketika masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan
sendiri antara suami-istri.
Hindari Pemicu Adu Domba
Bagian
ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki masalah dengan
suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan
dari orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami
akhirnya menjadi bermusuhan. Orang tua istri merasa harga dirinya dilecehkan
karena putrinya didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya
terlalu ikut campur urusan keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan,
namun masalah baru yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.
Selanjutnya,
jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya, karena ini akan
memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar sesama. Jika anda tidak
memungkinkan menyampaikan secara langsung, sampaikan dalam bentuk email, atau
sms. Semoga bermanfaat…
Allahu
a’lam
Oleh
: ustadz Ammi Nur Baits.
※ Ya Allah... semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤ Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin ya Rabbal'alamin.
¤ Salam sayang buat isteri &
anak tercinta :
‘Siti Nurjanah &
Rachmad Hidayatullah’